MAKALAH
“IMPLEMENTASI
NILAI PANCASILA DALAM ETIKA BISNIS DAN PROFESI”
DOSEN
:
IGA
AJU NITYA DHARMANI, S.ST., SE., M.M
DISUSUN
OLEH :
MIFTACHUL
CHOIR
01217015
UNIVERSITAS
NAROTAMA
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS
PRODI
MANAJEMEN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jika ditanya tentang isi kelima sila dalam Pancasila, pasti
semua dari kita masih mampu mengingatnya dengan sangat baik. Sudah sejak
sekolah dasar, sampai kita meneruskannya kembali ke anak-cucu kita, atau
setidaknya mendengarnya kembali dari mulut anak-anak yang diwajibkan untuk
menghafal kelima sila tersebut, membuat Pancasila melekat erat di ingatan
setiap warga negara Indonesia. Terlebih nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila secara subtansial merupakan kunci emas dalam mempertahankan mutu
segala bidang kehidupan, baik agama, politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya
dan sebagainya. Namun pertanyaannya sekarang adalah, masihkah nilai-nilai
Pancasila tersebut relevan dengan kehidupan kita sehari-hari, terutama dalam
kaitannya dengan Etika Bisnis dan profesi atau pekerjaan ? Mari kita coba
telusuri contoh-contoh sikap yang mencerminkan manusia Pancasila dalam dunia
kerja yang bisa kita praktekkan.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana nilai
setiap sila Pancasila dalam etika bisnis dan profesi?
2) Bagaimana
implementasi Pancasila sebagai sistem etika dalam kehidupan sehari-hari ?
1.3. Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui
nilai setiap sila Pancasila dalam etika bisnis dan profesi.
2) Menganalisis sejauh
mana implementasi Pancasila sebagai etika dalam kehidupan sehari-hari.
3) Agar mahasiswa lebih
memahami tentang materi Pancasila Sebagai Sistem Etika.
4) Untuk mendorong
semangat mahasiswa agar memiliki etika yang sesuai dengan Sila dalam Pancasila.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian
Pancasila
Pancasila adalah pilar ideologis negara Indonesia. Nama
ini terdiri dari dua kata, panca berarti lima dan sila berarti
prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima ideologi utama
penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada alinea ke-4 Preambule
(Pembukaan) Undang-Undang
Dasar 1945.
2.2. Pengertian
Etika Bisnis
Etika bisnis adalah cara untuk melakukan kegiatan bisnis yang
mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, dan
masyarakat. Etika bisnis memiliki peranan penting karena dapat membentuk nilai,
normal, serta perilaku karyawan dan pimpinan guna membangun hubungan adil dan
sehat dengan mitra kerja, pemegang saham, atau masyarakat.
Etika bisnis adalah aturan yang tidak tertulis soal
cara menjalankannya dengan adil dan sudah sesuai dengan hukum yang diberlakukan
negara, serta tidak tergantung pada kedudukan individu atau perusahaannya di
dalam masyarakat. Etika bisnis bisa menjadi standar serta pedoman bagi setiap
karyawan termasuk manajemen dan dijadikan sebagai pedoman untuk melaksanakan
pekerjaan sehari-hari dengan landasan kejujuran, moral luhur, transparansi,
serta sikap profesional.
2.3.
Pengertian Profesi
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam
bahasa Inggris "Profess", yang dalam bahasa Yunani
adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk
memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".
Profesi juga
sebagai pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus.
Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta
proses sertifikasi dan lisensi yang
khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kesehatan, keuangan, militer,
teknik desainer,
tenaga pendidik.
Seseorang yang
berkompeten di suatu profesi tertentu, disebut profesional.
Walau demikian, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang
menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir.
Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju
yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya
tidak dianggap sebagai suatu profesi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Nilai Setiap
Sila Pancasila dalam Etika Bisnis dan Profesi
Kehadiran
pancasila yang memegang peranan penting dalam sistem etika bangsa ini. Adapun
makna nilai setiap pancasila adalah sebagai berikut :
1. Sila
ke-1: Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Menurut
Prayitno (2009), nilai-nilai ke-Tuhanan sebagaimana terkandung dalam
agama-agama yang dianut bangsa mengandung nilai-nilai yang mengayomi, meliputi
dan menjiwai keempat sila yang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, termasuk moral penyelenggara negara,
politik negara, pemerintahan negara dan peraturan perundang-undangan negera,
kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa. Demikian pula dengan nilai-nilai etis dalam sila pertama harus
mendasari dan menjiwai nilai etis keempat sila yang lain.
Sila
pertama ini melandasi keberadaan teori etika Teonom. Menurut Agoes & Ardana
(2009:52), teori ini mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara
hakiki oleh kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia
secara moral dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku
manusia dianggap tidak baik bila tidak mengikuti aturan-aturan atau perintah
Allah sebagaimana telah dituangkan dalam kitab suci. Ada empat persamaan
fundamental filsafat etika semua agama yaitu:
a. Semua
manusia mengakui bahwa umat manusia memiliki tujuan tertinggi selain tujuan
hidup di dunia. Hindu menyebutnya moksa, Budha menyebutnya nirwana, Islam
menyebutnya akhirat, dan Kristen menyebutnya surge.
b. Semua
agama mengakui adanya Tuhan dan kekuatan tak terbatas yang mengatur alam raya
ini.
c. Etika
bukan saja diperlukan untuk mengatur perilaku hidup manusia di dunia, tetapi
juga sebagai salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan akhir umat manusia
yang terpenting.
d. Semua
agama mempunyai ajaran moral yang bersumber dari kitab suci masing-masing. Ada
prinsip-prinsip etika yang bersifat universal dan bersifat mutlak dijumpai di
semua agama, tetapi ada juga yang bersifat spesifik/berbeda dan hanya ada pada
agama tertentu saja.
2. Sila
ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Prayitno
(2009) mengatakan bahwa sila ini setidak-tidaknya memberi pengakuan bahwa
manusia yang hidup di negeri ini dan merupakan warga yang sah di negeri ini
diperlakukan secara adil dan beradab oleh penyelenggara negara, termasuk hak
dan kebebasannya beragama. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai
bahwa suatu tindakan yang berhubungan dengan kehidupan bernagara dan bermasyarakat
didasarkan atas sikap moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi martabat
manusia, serta sejalan dengan norma-norma agama dan social yang teah berkembang
dalam masyarakat sebelum munculnya negara. Ia juga mencakup perlindungan dan
penghargaan terhadap budaya dan kebudayaan yang dikembangkan bangsa yang
beragam etnik dan golongan.
Sila
kedua ini sesuai dengan teori etika Hak. Agoes & Ardana (2009:49)
mengatakan bahwa teori Hak adalah suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik
bila perbuatan atau tindakan tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM).
Teori ini sebenarnya didasarkan atas asumsi bahwa manusia mempunyai martabat
yang sama. HAM didasarkan atas beberapa sumber otoritas, yaitu:
a. Hak
hukum, adalah hak yang didasarkan atas system/yurisdiksi hukum suatu negara,
dimana sumber hukum tertinggi adalah UUD negara tersebut.
b. Hak
moral, dihubungkan dengan pribadi manusia secara individu atau kelompok. Hak
moral berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang kepentingan itu tidak
melanggar hak-hak orang lain.
c. Hak
kontraktual, mengikat individu-individu yang membuat kesepakatan atau kontrak
bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing pihak.
3. Sila
ke-3: Persatuan Indonesia
Dalam
sila ini Prayitno (2009) mengatakan, sila ketiga adalah pemersatu seluruh
rakyat Indonesia yang dapat dari berbagai jenis suku, agama dan ras. Di sila
ketiga ini sangat berpengaruh bagi bangsa Indonesia, karena tanpa adanya
pesatuan antara rakyat Indonesia, walaupun Indonesia besar dalam jumlah wilayah
dan rakyat semua itu tidak akan berarti tanpa adanya persatuan antara rakyat
Indonesia.
Sila
ketiga ini sesuai dengan teori etika Deontologi, menurut Agoes & Ardana
(2009: 47-48) teori ini mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada
kaitannya dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Suatu
perbuatan tidak menjadi baik karena hasilnya baik, alasan untuk membenarkan
suatu tindakan yaitu hanya karena kewajiban untuk melaksanakan tindakan
tersebut. Dalam hal ini, kewajiban moral bersifat mutlak tanpa ada pengecualian
apa pun. Ini berarti bahwa pedoman yang mengatur perilaku moral manusia harus
dapat menjadi hukum universal dan bahwa manusia hendaknya berperilaku
sebagaimana ia menginginkan orang lain juga berperilaku yang sama.
4. Sila
ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
Prayitno
(2009) berpendapat bahwa dalam sila ini terkandung nilai demokrasi:
a. Adanya
kebebasan yang disertai tanggung jawab moral terhadap masyarakat, kemanusiaan
dan Tuhan
b.
Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
c. Menjamin
dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama.
d. Mengakui
perbedaan pandangan dan kepercayaan dari setiap individu, kelompok, suku dan
agama, karena perbedaan merupakan kodrat bawaan manusia.
e. Mengakui
adanya persaamaan yang melekat pada setiap manusia dst.
f. Mengarahkan
perbedaan ke arah koeksistensi dan solidaritas kemanusiaan;
g. Menjunjung
tinggi asas musyawarah dan mufakat.
h. Mewujudkan
dan mendasarkan kehidupan berdasarkan keadilan social.
Sila
keempat ini, sama seperti sila ketiga yaitu berkaitan dengan teori etika
Deontologi. Agoes & Ardana (2009:48) mengatakan bahwa kewajiban moral harus
dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri, bukan karena keinginan untuk
memperoleh tujuan kebahagiaan. Dengan kata lain, kewajiban moral mutlak
bersifat rasional. Dalam hidup bermasyarakat diperlukan landasan kepercayaan
antara satu dengan lainnya, dan untuk menanamkan kepercayaan tersebut
diperlukan kejujuran dari semua anggota kelompok. Bila tidak ada kejujuran
sesama anggota kelompok, jangan harap ada kepercayaan di antara anggota
kelompok tersebut, bila tidak ada kepercayaan, maka kelompok masyarakat tidak
akan dapat terbentuk. Dengan contoh tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
tindakan jujur merupakan salah satu kewajiban moral yang bersifat universal.
5. Sila
ke-5: Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut
Prayitno (2009), keadilan sosial yang dimaksud harus didasarkan pada empat sila
sebelumnya.
Keadilan
di sini lantas mencakup tiga bentuk keadilan
a. Keadilan
distributive, menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa
negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan
penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan
kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang
setara dan seimbang
b. Keadilan
legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara
terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam Negara
c. Keadilan
komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya
secara timbal balik. Keadilan social tercermin bukan dalam kehidupan social dan
pelaksanaan hukum oleh negara, tetapi juga dalam kehidupan ekonomi dan politik,
serta lapangan kebudayaan dan pelaksanaan ajaran agama.
Sila
kelima ini sesuai dengan teori etika Utilitarianisme. Agoes & Ardana
(2009:46) menjelaskan bahwa teori ini berpendapat bahwa suatu tindakan dapat
dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat.
Jadi ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau
tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak. Teori ini mendapat
dukungan luas karena mengaitkan moralitas dengan kepentingan orang banyak dan
kelestarian alam. Teori ini juga memperoleh pijakannya dalam ilmu ekonomi dan
manajemen dengan diperkenalkannya konsep cost and benefit dan paham
stakeholders.
BAB IV
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, kiranya dapat disimpulkan beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Pancasila merupakan
sebuah nilai dasar Negara Indonesia. Pancasila diambil dari nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia pada dasarnya bersifat religious, kemanusiaan, persatuan,
demokrasi dan keadilan. Di samping itu Pancasila bercirikan asas kekeluargaan
dan gotong royong serta pengakuan atas hak-hak individu.
2. Implementasi Pancasila
sebagai system etika harus senantiasa terwujud prinsip-prinsip sebagai nilai
luhur termasuk sila kedua dari Pancasila, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Eksistensi Pancasila sebagai sistem etika dapat ditegakkan dengan
mengimplementasikan prinsip konstitusionalisme dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara Indonesia.
3.2. Saran
Berdasarkan pembahsan di atas, kiranya dapat diuraikan beberapa
saran, yaitu:
1. Pancasila harus
senantiasa diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia sehingga ciri kekeluargaan dan gotong royong senantiasa dapat
terwujud dalam kehidupan di Indonesia.
2. Implementasi Pancasila
harus senantiasa tertuang dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, termasuk dalam etika berbisnis dan profesi atau pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
https://qq.co.id/implementasi-nilai-pancasila-dalam-dunia-kerja/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila
https://www.jurnal.id/id/blog/apa-itu-etika-bisnis/
https://id.wikipedia.org/wiki/Profesi
http://marchellapramadhana.blogspot.com/2012/03/implementasi-nilai-pancasila-dalam.html

0 komentar:
Posting Komentar